Keputusan Politik Indonesia Era Reformasi Perdana Yang Menyedihkan

8/24/2011
Apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia saat ini?. Sampai kapan anak bangsa indonesia ini mau berhenti untuk saling menjatuhkan atau mencari kelemahan dan kesalahan satu sama lainnya khususnya dalam kancah politik. Apakah yang sedang kita hadapi saat ini merupakan pelajaran atau didikan yang diperoleh pada sidang Umum MPR pada Pemilu pertama era Reformasi?. Saya mengatakan ini berangkat dari nurani dan tidak punya kepentingan dengan salah satu Partai Politik manapun.

Gedung DPR-MPR RI Senayan Jakarta
Gedung DPR-MPR RI
Senayan Jakarta
Coba kita renungkan yang terjadi di rumah Rakyat Senayan (Gedung MPR RI) saat itu. Saya tidak bisa bayangkan kalau seandainya partai yang memperoleh suara mayoritas pada saat itu adalah bukan partai yang dipimpin Ibu Megawati Soekarno Putri, kemungkinan 95 % akan didukung menjadi Presiden periode saat itu. PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri yang memperoleh suara 35.689.073 (33,74%) pada pemilu yang serentak dilaksanakan dipenjuru Indonesia tanggal 7 Juni 1999 sia-sia. Betapa sakitnya hati seorang ibu pada saat itu. Tapi mau bilang apa lagi alasan demokrasi yang dilontarkan para elit-elit politik yang tidak bisa menerima fakta yang terjadi di lapangan akhirnya menghempaskan kepercayaan dan harapan masyarakat bawah (Bottom Up).

Suara elit-elit politik begitu menggelegar dengan samangat pada saat kampanye dengan menyuarakan suara rakyat adalah yang menentukan demokrasi bangsa indoensia pada masa yang akan datang. Kalimat itu kemudian dicampakan juga. Pada hari ini, 20 Oktober 1999 seharusnya Gedung MPR RI akan menyaksikan elit-elit politik menunjukan sikap gentelmen untuk memberi kesempatan kepada Ibu Megawati. Namun Kenyataan yang terjadi sebaliknya. Bapak Gusdur dan Ibu Mega yang begitu harmonis selama perjalanan kampanye akhirnya dipisahkan oleh kepentingan-kepentingan yang tidak seharusnya. Dan akhirnya apa hendak dikata lagi, sejarah telah mencatatnya.

Canda tawa serta hubungan kekerabatan yang terbina begitu indah antara kedua panutan politik indonesia akhirnya hancur dalam sekejap. Presiden ke empat Indonesia yang digagas dalam waktu sekejap melalui koalisi Poros Tengah (Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akhirnya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Presiden Abdurahman Wahid yang terpilih melalui pemilihan/pemungutan suara dari anggota MPR RI dengan memperoleh 373 suara dan Megawati 313 suara akhinya lengser juga ditengah perjalanan tepatnya tanggal 23 Juli 2001 sebelum masa jabatannya berakhir melalui sidang Umum Istimewa MPR RI dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Putri sulung Ir. Soekarno sang Proklamator bangsa indonesia menjadi Kepala Negara Indoneisa mulai tanggal 23 Juli 2001 hingga 23 Oktober 2004.

Dan apakah yang melanda Indonesia saat ini adalah dosa politik?. Mari kita intropeksi diri. Bangsa Indonesia tidak akan bisa keluar dari krisis moral apabila tidak pernah menanamkan rasa malu pada diri sendiri dan jangan pernah mengajak dan menghimbau orang lain apabila belum mampu mengendalikan emosi sendiri. Kini saatnya untuk menanamkan budaya malu pada diri sendiri dan dalam lingkungan keluarga sendiri agar budaya korupsi ini setidaknya akan teratasi.

Indonesia sampai dengan saat ini mendapat musibah beruntun. Namun musibah paling menjijikan adalah merosotnya nilai moral sumberdaya manusia sebagian elit poiltik tidak pernah cukup yang diterimanya saat ini. Kejadian ini sangat disayangkan. Kasus-kasus korupsi yang tersiar di berbagai media masa yang disantap masyarakat saat ini merupakan salah satu contoh budaya elit-elit politik yang tidak mendidik sama sekali. Sebagai contoh, kasus korupsi Bank Century, kasus korupsi Nasaruddin dan kasus pelanyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Apakah semua masalah ini muncul kepermukaan memang benar-benar berangkat dari hati tulus dan ikhlas untuk menyelamatkan warisan/kekayaan anak bangsa ataukah lebih kental dengan nuansa politknya?. Mari dicerna bersama demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia kenapa koruptor selalu tumbuh silih berganti setiap ada pergantian pemimpin (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota)

Entah apa yang ada dalam otak para koruptor yang sudah terjebak kasus saat ini. Jangankan rakyat, diri sendiri saja dikorbankan hanya untuk kepentingan dan kenikmatan sesaat. Tidakah dipercaya bahwa kekayaan berlimpah ruah yang diperoleh dengan jalan tidak benar, suatu saat akan menghantarkan istri dan anak menderita juga. Dan harta berlimpah ruah yang didapat dari hasil korupsi tidak sempat dinikmati sepuas-sepuasnya karena sudah terlanjur terjebak nafsu serakah yang telah menggiring ke sel penjara. Apakah memang budaya saling menjatuhkan dan korupsi ini sebagai budaya bangsa indonesia yang ingin diwariskan pada generasi-generasi selanjutnya?.
Ronamasa