Jokowi dan Republik Ken Arok

12/04/2013
Jokowi dan Republik Ken Arok

KEN AROK adalah Indonesia hari ini. Melahirkan dinasty Raja yang turun temurun dari Singasari ke Majapahit ke Denmark ke Mataram hingga ke raja-raja kecil di peta politik kini. Dialah pahlawan kegelapan yang membawa cahaya baru, menurut teorinya sendiri, yaitu bara api pergolakan. Bersenjata kering empu Gandring yang belum tamat ditempa, dia membunuh Tunggul Ametung melalui tangan orang lain.
Kelicikan memang di atas segalanya dan itulah Indonesai hari ini yang masih di berada di bawah penjanjahan ketamakan.

Riwayat Ken Arok bermula dari entah-berentah. Sejarah menulis tidak dengan jelas, anak siapa dia. Namun noktah itulah yang jsutru menjadi titik berangkat kisah raja-raja berikutnya: barang siapa yang lahir dari kegelapan, dia adalah Lembu Peteng-istilah untuk anak sah sepasang aib dan tabu yang dikemudian hari muncul misterius, seolah selama ini dipingit sebagai rahasia, keluar pada saat politik menghendakinya. Tentu saja sebagai pemenang, Sebagai pahlawan. Pada hal dia tidak diperhitungkan sebelumnya.

Zaman telah mengubah teori silsilah betapa tampuk kekuasaan tidak lagi diserahterimakan kepada anak biologis, melainkan kepada anak Ideologis. Lembu Peteng sudah bukan Idiom untuk anak haram jadah, bukan lagi tentang anak dari selir, bukan pula soal anak buangan. Lembu Peteng menjelma lorong waktu yang tiba-tiba memunculkan pemimpin demi pemimpin, entah dari mana. Secara terus menerus sejak Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sejarah mencatat tiap presiden adalah anak-anak dari selubung Lembu Peteng.

Semula H.O.S. Tjokroaminoto yang diyakini akan melahirkan republik ini. Dia adalah guru bagi Soekarno, D.N Aidit, Semaoen, Muso, Alimin, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyhari, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Minhadjurrahman Djodjosoegito, HAMKA, dan para pemuda lainnya yang kemudian menjadi peletak dasar pergelakan politik Indonesia. Tapi, kemunculan Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia menjadi konfirmasi atas teori manuver sejarah "trah" Lembu Peteng.

Tidak hanya itu, Soekarno bahkan seolah menjadi stempel bagi keabsahan Jangka Jayabaya, kitab visioner yang ditulis oleh Jayabaya (1135-1157) dari Kediri-bukan kebetulan jika Ken Arok pun lahir di Kediri pada 1182. Menurut Jayabaya, seorang satria piningit akan muncul setelah negeri ini dijajah lebih dari tiga abad oleh bangsa berkulit putih (Belanda) dan 2,5 tahun dijajah oleh bangsa berkulit kuning (Jepan). Dialah yang kemudian akan menjelma ratu adil, entah sosok, entah karakter.

Ya, sejarah memang berulang. Tapi sejarah adalah matahari terbit esok akan terbit lagi, namun tidak pernah pada pagi yang sama. Pagi ini hanya sekali hadir dan takkan pernah kembali, berbeda dari pagi kemarin, berlainan dengan pagi besoknya. Teori Lembu Peteng berulang dengan munculnya Soeharto, fajar baru hari itu. Dia adalah jenderal yang semula tidak diperhitungkan, namun tiba-tiba memegan tongkat komando dari secarik kertas hilang bernama Surat Perintah sebelas Maret dari Soekarno.

Bolehlah Soeharto mencetak anak didik politik dan menancapkan cakar-cakar kekuasaan sekuat garuda. Tap, lagi-lagi muncul seorang pemimpin berikutnya dari lorong rahasia Lembu Peteng; seorang yang sama sekali tidak diperhitungkan selain dalam sidang para teknorat: Habibie. Catatan hidupnya menyebutkan bahwa menteri riset dan teknologi itu membuat pesawat ditukar dengan beras ketan Thailand, siapa sangka dia kemudian menjadi "pilot" ketiga yang menerbangkan Indonesia?

Habibie adalah Satrio Piningit, ternyata, sebagaimana Soekarno dan Soeharto, yang tiba keluar dari pingitan dan mengejutkan siapapun yang memiliki syahwat politik. Kenyataan zaman pula yang mendorong seorang Abdurahman Wahid (Gus Dur) menyeruak di antara riuh rendah rakyat yang mengelukan Megawati. Abdurhmanwahid, dalam rubrik Pemikiran tertanggal 2 September 2002 di laman www.gusder.net, bahkan sejak dari judul tulisannya telah menegaskan, "Saya juga keturunan Lembu Peteng."

Gus Dur adalah sosok yang sangat dicintai rakyat. Tak ada yang mengira umur kekuasaannya pendek. Megawati tiba-tiba naik singgasana setelah MPR mencabut mandat Abdurahman Wahid. Megawati adalah Satria Peningit berikutnya yang datang dari lorong Lembu Peteng. Dia seketika memenangi perdebatan panjang halal-haram perempuan menjadi pemimpin. Namun, takdir Lembu Peteng pula yang merebut tongkat komando dari tangan putri sang proklamator itu.

Tiba giliran kejutan berikutnya untuk tampil. Skenario Lembu Peteng memunculkan sosok tak dinyana: letnan jenderal kepala staf teritorial yang karir militernya berakhir mendadak tamat karena ditarik Presiden Gus Dur menjadi menteri Pertambangan dan energi. Namun kenyataan itu yang justru melesatkan Susilo Bambang Yudhoyono, menantu Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD pada masa penumpasan Partai Komunis Indonesia sebagai bintang baru perpolitikan.

Yudhoyono mundur dari jabatan menteri koordinator bidang politik dan keamanan pada kabinte Megawati. Dia lalu muncul dengan kendaraan politik baru dan memenangi pemilihan umum langsung pertama di Indonesia. Taktik politiknya, diakui atau disangkal, pasti mengejutkan para kawakan politik. Dan, tak disadari atau tidak, Yudhoyono adalah presiden terkuat pertama sejak era reformasi. Dia memerintah dua periode berturut-turut. Tak terjatuhkan meski kasus korupsi merebak di masanya.

Konon, politik itu kotor. Namun tampaknya, kotornya perpolitikan di negara mana pun tidak bisa ditanggulangi hanya dengan sapu bersih. Walaupun, menurut Gus Dur, tidak ada kekuasaan yang layak dibela mati-matian sampai menelan korban-entah sudah berapa nyawa tumpas atas nama politik dan kekuasaan sejak republik berdiri hingga detik ini. Dan dicibir bagaimana pun akar rumput masih percaya tahta bukan sekedar soal karir politik, tapi juga lebih soal wahyu keprabon, soal anugerah tuhan.

Rakyat negeri ini bukan rakyat yang cepat lupa, melainkan rakyat yang cepat bosan dan menjadi tidak peduli lagi. Lalu, menuntut sosok baru untuk diprofilkan sebagai harapan. Mulai bermunculan nama-nama bakal calon presiden. Namun, ada satu nama yang mengejutkan- dan tak diperhitungkan sebelumnya-sontak bertengger sebagai pusat perhatian: Joko Widodo (Jokowi). Dia tak nyaris berpolitik sebelum memenangi pemilihan walikota Solo, lalu terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Jika teori lorong waktu Lembu Peteng masih berlaku, loncatan politik pengusaha furniture itu sungguh jauh. Tapi setiap pemimpin negeri ini awalnya dipuji sebagai oase di tengah kerontang. Lalu, dikejar dengan program seratus hari untuk menyulap keprihatinan nasional menjadi kemakmuran bangsa. Padahal, membangun kepemimpinan laksana menempa keris. Jika belum saatnya, tapi sudah dipaksakan, korban Ken Arok berikutnya akan jatuh.

Candra Malik. Penulis buku Makrifat Cinta dan Menyambut Kematian serta pengasuh Pesantren Asy-Syahadah Karanganyar, Jawa Tengah.

Sumber: Koran Jawa Pos, Minggu 1 Desember 2013.

Artikel lainnya

Kronologi Pengunduran Diri Soeharto Sebagai Presiden RI 21 Mei 1998
Naskah Asli Pernyataan Berhenti Soeharto Sebagai Presiden RI, 21 Mei 1998
Putra Asli Daerah Bima Hamdan Zoelva Terpilih Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi
Ferry Zulkarnain Bupati Bima Pertama Pilihan Rakyat Bima
Ketua PLO Yasser Arafat Dibunuh Dengan Racun
Ronamasa